(savananews.com) Lombok Barat – Tradisi perang topat sebagai salah satu tradisi leluhur yang menjadi symbol toleransi dan keberagaman antar warga masyarakat Lombok yang sejak lama terpelihara dan terjaga hingga hari ini.
Bahkan selain sebagai event daya tarik wisata, dalam ritual yang digelar bertepatan dengan bulan ketujuh kalender sasak tersebut terkandung banyak makna filosofi sebagai ungkapan syukur warga masyarakat atas berkah serta karunia kesuburan dan kedamaian di gumi Lombok.
Meski berkonotasi perang, tidak ada permusuhan dan kekerasan di dalamnya, semuanya dilakukan warga agar tetap merekat kebersamaan serta toleransi satu sama lain, disisi lain acara perang topat juga menjadi ritual budaya warga untuk memohon kesuburan yang telah berabad abad dilakukan para leluhur yang menghuni pulau berjuluk seribu masjid tersebut.
“perang topat sebenarnya bukan perang antara sasak (muslim_red) dan Bali (hindu_red), namun merupakan sebuah tradisi untuk merekat kebersamaan, sebagai simbol merekat persaudaraan yang selama ini terjalin. Di dalamnya juga bermakna syukur dan memohon kesuburan untuk kebaikan alam semesta,” ungkap Anak Agung Ketut tokoh masyarakat setempat yang juga merupakan buyut dari raja Lombok Anak Agung Karang asem yang membangun pura Lingsar.
Anak Agung juga menyatakan melalui perang topat warga berharap kerukunan antar sesama bisa terus terjalin, dan mendapatkan berkah dari sang pencipta.
“Ketupat itu simbol kesuburan, ritual menabur ketupat sebelum melaksanakan peperangan menjadi ritual inti yang diistilahkan sebagai hujan yang mengguyur alam semesta, dalam istilah sasak namanya rarak kembang waru, itu maknanya dimulainya musim tanam setelah hujan yang menyuburkan alam semesta,” jelasnya.
Rangkaian tradisi perang topat yang menjadi event tahunan warga masyarakat Kecamatan Lingsar Lombok Barat mendapat apreseasi positif dari Salah seorang senator asal NTB Baiq Diyah Ratu Ganefi, turut hadir dalam upacara adat tersebut. Dia mengapresiasi nilai-nilai keragaman yang ada dalam upacara itu.
"Tradisi ini memang harus tetap dilestarikan karena kepercayaan dari para Ninik Mamak (nenek moyang) kita adalah adanya kerukunan beragama bermasyarakat bertoleransi juga untuk kesuburan dari pertanian pertanian yang ada," ungkapnya di sela sela acara.
Tradisi perang topat sendiri menjadi sebuah ritual bernuansa positif yang bisa menjadi contoh toleransi dan keberagaman yang terus dipupuk warga masyarakat pulau Lombok dari masa ke masa dengan balutan tradisi budaya khas daerah yang kental.
"Event ini layak untuk didorong agar menjadi event nasional karena mengandung nila filosofi positif untuk keberagaman dan simbol kerukunan yang terus terjaga di Pulau Lombok, ini aset budaya lokal yang harus diapreseasi pemerintah pusat,” pungkasnya. (*)
Social Header